Mengapa Sejumlah Pensiunan TNI Bersemangat Mendesak Reformasi Polri?
Jakarta, 19 Oktober 2025 / antara news. Id
Desakan sejumlah pensiunan TNI, termasuk mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, agar Presiden Prabowo Subianto segera merealisasikan Reformasi Polri, dinilai lebih sebagai tekanan politik daripada dorongan moral untuk memperbaiki institusi kepolisian. Argumen yang mendasarkan desakan pada kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa dianggap sebagai penyederhanaan masalah yang berlebihan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
R. Haidar Alwi, Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) dan Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, berpendapat bahwa jika niat reformasi benar-benar berangkat dari kepentingan bangsa, fokus seharusnya pada substansi reformasi, bukan pada tuntutan personal seperti pergantian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Dalam konteks ini, publik justru berhak bertanya. Apakah yang sedang diusung adalah reformasi kelembagaan Polri, atau perebutan pengaruh antara dua institusi bersenjata yang sejak lama memiliki sejarah kompetisi terselubung?” tulis Haidar Alwi dalam analisisnya, Sabtu (18/10/2025).
Menurutnya, Polri justru telah menunjukkan kemampuan adaptif dan kapasitas internal dalam menangani kasus Sambo dan Minahasa secara terbuka, dengan proses hukum yang berjalan hingga ke pengadilan. Polri dinilai tidak menutupi kesalahan, melainkan menindak tegas hingga ke jajaran tertinggi.
Haidar Alwi juga menyoroti bahwa reformasi bukan sekadar mengganti pimpinan atau membentuk komite baru, tetapi menata ulang kultur, struktur, dan sistem agar sesuai dengan kebutuhan zaman. Ia meyakini Presiden Prabowo memahami hal itu.
“Sebagai mantan prajurit yang lahir dari kultur disiplin militer, ia tahu bahwa perubahan dalam tubuh aparat penegak hukum tidak boleh dilakukan dengan tekanan politik atau intervensi kelompok mana pun,” tegasnya. Reformasi yang lahir dari tekanan eksternal berisiko menggerus kemandirian Polri dan menimbulkan ketegangan horizontal antara Polri dan TNI.
Munculnya nama-nama purnawirawan TNI dalam barisan pendesak reformasi mempertegas aroma politik di balik wacana tersebut. Hal ini memunculkan dugaan adanya motif pengaruh dan kepentingan atas tubuh Polri yang semakin kuat secara politik, ekonomi, dan sosial.
Haidar Alwi berpendapat bahwa Presiden Prabowo menyadari yang dibutuhkan bukanlah reformasi yang lahir dari tekanan politik luar, melainkan pembenahan yang tumbuh dari kesadaran internal Polri sendiri. Ia menilai mengguncang keseimbangan antar-institusi keamanan tanpa perhitungan matang hanya akan membuka ruang konflik laten antara dua korps bersenjata.
“Reformasi Polri bukan proyek balas dendam, bukan pula panggung adu pengaruh antara purnawirawan. Reformasi Polri adalah proses rasional yang harus dikawal dengan ketenangan, bukan dengan emosional dan ketergesa-gesaan,” pungkasnya. Ia mengajak semua pihak untuk membantu menjaga keseimbangan antarlembaga dan tidak menebar narasi yang dapat memecah kepercayaan publik terhadap pemerintah.(red)